Kamis, 09 Juli 2009

Anis Sholeh Ba’asyin: Menggubah ‘Suluk’ di Tengah Kebebalan (*)

Oleh: Agustinus Sukandar

SEBUAH videoklip berjudul ‘Pantun Jadi-jadian’, yang diunggah oleh Anis Sholeh di halaman facebook komunitas Orkes Puisi Sampak GusUran, tiba-tiba lenyap, persis sehari sebelum kelompok itu menggelar konser bertajuk ‘Bersama Kita Gila’ di Bentara Budaya, Palmerah Selatan, Jakarta, 11 Juni lalu. Admin facebook mengirimkan peringatan, videoklip itu ditengarai menyebarkan kebencian dan menjelek-jelekkan kelompok tertentu (hateful, threatening, graphic, or that attack an individual or group).

Hal serupa pernah terjadi juga pada videoklip ‘Suluk Kiamat alias Bersama Kita Gila’. Dia pernah ‘menghilang’ selama dua minggu dari halaman situs video-sharing YouTube di saat ratingnya telah melambung tinggi dan memperoleh 7 award dari para penggemarnya.

Meski peristiwa itu nyaris tak terdengar oleh publik yang lebih luas, apalagi dimejahijaukan seperti pengalaman seniman-seniman vokal terdahulu, diam-diam kasus kecil itu menandakan bahwa suara kritis seniman masih ‘diperhitungkan’ oleh kalangan tertentu.

Beberapa puisi Anis memang bisa memerahkan telinga dan mengundang senyum kecut pihak-pihak tertentu. Misalnya: “Dari Sabang sampai Merauke, berjajar maling-maling. Sambung-menyambung menjadi satu, namanya pasar maling. Para maling bersekongkol menyandera masa depan. Nilai diputarbalikkan jadi saham perdagangan,” dalam ‘Pantun Jadi-jadian’. Atau: ”Kamu bilang keadilan, kami bilang: prek! Kamu bilang kemakmuran, kami bilang: prek! Kamu bilang kesejahteraan, kami bilang: prek! Kamu bilang kemajuan, kami bilang: prek!” (dalam ‘Suluk Mabuk Segala Jurusan’).

Aroma kritik sosial dari puisi-puisi Anis nyaris seperti seruan seorang nabi di padang gurun untuk mengoreksi umat yang sudah bengkok kehidupannya supaya kembali berikhtiar dan menjadi bijak: “Kiamat, kita pembangunnya. Neraka, kita perancangnya. Jangan tuding pelaku lainnya, agar bisa jadi pahlawannya!” (dalam ‘Suluk Kiamat’). Atau: “Kemiskinan, kelaparan, anak-anak keleleran di pinggir jalan, akan merampok surga yang kaubayangkan dalam nyenyak ketidakadilan,” dalam ‘Suluk Sunyi’.

Sejak 1979 Anis Sholeh Ba’asyin sudah aktif menulis puisi dan esai sosial budaya, tersebar di berbagai media dan antologi. Sejumlah kumpulan puisinya telah diterbitkan: Orang Pinggir Jalan (YP3M Prakarsa, 1982), Kisah Pertobatan Senti (YP3M Prakarsa, 1984), Potret Iblis (KPK, 1992), dan Jaman Gugat (Taman Budaya Jawa Tengah, 2007).

Tahun ’90-an sempat beristirahat dari dunia penulisan dan suntuk nyantri pada KH. Abdullah Salam, seorang kyai sepuh di Kajen, Pati. Mulai aktif lagi menulis tahun 2001.

Sejak 2005, bersama kelompok Orkes Puisi Sampak GusUran yang saat itu mulai berkibar, ia aktif mengadakan konser keliling dari pelosok desa sampai ke pusat-pusat kebudayaan. Selain itu ia juga aktif dalam banyak gerakan sosial, budaya dan keagamaan. Tema puisinya yang beragam, dari masalah sosial hingga renungan sufis, membuatnya bisa tampil baik dalam demo, happening art, maupun pengajian.

Aktivitas dan latar belakang seperti itu tentu semakin mematangkan proses kreatif Anis Sholeh, baik dari segi muatan maupun kemasannya. Format ‘orkes puisi’ dipilih karena dianggap mampu mewadahi keinginan awal untuk menafsirkan, mengawinkan dan mengorkestrasikan puisi dalam komposisi-komposisi musikal. Selain itu, format itu diyakini mampu menjadi jembatan untuk lebih mendekatkan muatan puisi pada masyarakatnya.

Nama ‘Sampak’ diambil dari jenis irama musik dalam pewayangan, ritmenya rancak membangkitkan semangat, biasanya untuk mengiringi adegan perang. Sedangkan ‘GusUran’ bisa dibaca sebagai permainan bentuk penulisan kata ‘gusuran’ yang berkonotasi keterpinggiran. Kata ‘Uran’ dibaca sebagai bentuk jamak dari ‘ura-ura’ (Jw.) yang berarti bersenandung.

Dalam bermusik, kelompok ini berusaha untuk menerjemahkan ke-Indonesia-an secara lebih dinamis, dengan menyerap semangat dan komposisi musik tradisional, dan meramunya dengan mosaik musikalitas baru yang tumbuh di masa kini.

Akhir-akhir ini, di tengah hiruk pikuk kampanye capres dan cawapres, bersama 17 rekan yang tergabung dalam kelompok orkes puisinya, Anis Sholeh mengadakan tour keliling sambil memperkenalkan album perdananya ‘Bersama Kita Gila - Wis Ngedan Isih Ora Keduman’. Album yang didukung oleh WALHI, Lesbumi-NU dan Pemuda Tani Indonesia-HKTI itu menampilkan sembilan judul puisi: Suluk Keseimbangan, Suluk Jaman Akhir, Suluk Pintu Terkunci, Pantun Jadi-jadian, Suluk Kecelik, Suluk Kiamat (Bersama Kita Gila), Suluk Montang-manting, Suluk Mabuk Segala Jurusan, Suluk Sunyi.

Menikmati orkes puisi Anis dalam album ‘Bersama Kita Gila’ ini seperti menonton atau mendengarkan pagelaran wayang. Lantunan suluk di sana-sini seperti mengisyaratkan bahwa muatan pesan dalam puisi-puisi Anis hendaknya tidak ditelan mentah-mentah. Di sini berlaku filosofi pagelaran wayang: bayang-bayang menjadi proyeksi watak/karakter manusia, lakon menjadi cermin dari perjalanan hidup semesta ini, penonton/pendengar harus mengupasnya setelah lakon seutuhnya selesai digelar hingga byar, tidak sepotong-sepotong.

Oleh karena itu, menyimak puisi-puisi Anis dalam album ini tak cukup hanya mengusung dawai kegundahan sebagai dampak dari situasi sosial-politik-budaya saja, namun juga harus menyediakan ruang sunyi keheningan di hati dalam terang cahaya rohani Sang Khalik.

Sepintas suluk-suluk puisi Anis bernada suram dan pesimistis. Namun bila disimak lebih cermat, ‘Bersama Kita Gila’ itu berbingkai doa. Seolah kita diajak untuk ikut berdoa bersamanya: sebuah doa yang kontekstual; bukan doa mantra hapalan dari teks doa yang sudah ada, namun doa yang menghaturkan kesediaan diri untuk menjadi agen perubahan. Meskipun, untuk sampai ke kedalaman konteks doa itu, Anis Sholeh harus ngedan atau ‘mabuk’ dahulu melalui celoteh-celotehnya, untuk membongkar kesuntukan realitas kehidupan yang menjadi bahan doanya.

Mungkin masyarakat kita telah neg dengan tema-tema yang diusung: kekayaan sumber daya alam yang salah kelola, warisan budaya yang tak terurus, kemiskinan dan kesenjangan sosial, pemimpin dan penguasa korup, bencana (alam), hingga tema tentang kemerosotan moral, iman dan kekafiran, munculnya ‘nabi-nabi palsu’, dll. Namun tak bisa dipungkiri, itulah ‘ladang’ luas tak bertepi bagi jiwa-jiwa yang punya hati pada negeri ini.

Muatan kritik sosial dalam syair-syair puisi Anis sepintas mirip dengan syair-syair lagu Iwan Fals atau Doel Sumbang. Kadang dituangkan dalam rangkaian kata-kata serius penuh ikhtiar, kadang dalam gaya olok-olokan jenaka namun cerdas dalam logika. Dan tak diragukan, sentuhan pesantren yang begitu kental menjiwai puisi-puisinya jelas memberi ruh tersendiri.

Kekhasan syair-syair puisi Anis, menurutnya, terletak pada nafas tradisi syair-syair tembang Jawa yang diterapkannya. Syair-syair puisi Anis ditulis dengan kerangka sebuah tembang. Hampir semua judul puisi dalam album itu berawal dengan kata ‘Suluk’ (kecuali Pantun Jadi-jadian). Dalam dunia pewayangan, ‘suluk’ merupakan tembang yang dilantunkan sang dalang untuk menggambarkan suatu adegan yang sedang atau akan dimainkan. Sementara, kata ‘suluk’ bisa juga berarti ‘jalan’ atau ‘disiplin’ spiritual yang ditempuh untuk menuju Allah. Dengan demikian, pesan terdalam dari puisi-puisi Anis itu diartikulasikan dalam dua kekuatan: verbal dan non-verbal; syair berirama dan bunyi-bunyian bernada.

Balutan mosaik musikalitas yang berwarna-warni, mulai dari gaya dan alat musik etnik tradisional nusantara, dangdut, langgam, irama padang pasir, hingga rap, jazz, maupun rock tak sekedar menjadi ruang eksplorasi gaya bermusik, namun menjadi upaya agar suluk-suluk itu membumi.

Kumpulan suluk Anis Sholeh Ba’asyin ‘Bersama Kita Gila’ dapat menjadi referensi bagi siapapun yang peduli akan perannya sebagai agen perubahan. Baik dalam konteks pribadi maupun bersama, realitas sosial-politik-budaya selalu memanggil siapapun untuk mawas diri dan bersikap secara visioner. Siapapun dipanggil untuk menggubah suluk-nya sendiri, sebagai penanda langkah per-‘jalan’-an hidupnya sekaligus sebagai tanggapan bertanggung jawab terhadap realitas kehidupan yang kadang menggelisahkan. Kecuali bila kita telah benar-benar bebal dan matirasa! [skd]

Ya Allah, bila kemuliaan disepelekan, bila kesabaran dihinakan, bila kekuasaan dituankan, bila kesombongan diberhalakan, ubah hamba jadi bah, jadi gempa, jadi badai, jadi kebakaran, sampai keadilan ditubuhkan, sampai keseimbangan dikembalikan! (Anis Sholeh Ba’asyin, Suluk Keseimbangan).

(*) Pernah dimuat di Harian Merdeka, Sabtu, 4 Juli 2009.

0 komentar:

Posting Komentar